LAPORAN FILM MIRACLE WORKER
KATA PENGANTAR
Saya panjatkan puji dan syukur
terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karna hanya karna rahmat dan
petunjuk-Nya dapat menyelesaikan tugas” psikologi kepribadian2” ini. Sumber
makalah saya dapatkan dari berbagai sumber, diantara sumber-sumber tersubut
saya susun sehingga menurut saya peper dalam makalh ini sudah cukup akurat.
Dalam penulisan ini banyak saya
temuakan kendala, namun saya berhasil menyelesaikan dan dapat tepat waktu.
Akhir kata bila ada penulisan kata pad hati pembaca harap mohon di maklumi.
Yogyakarta, 3 Mei 2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Apakah kepribadian itu? Mungkin anda
pernah mendengar orang berkata, "Parasnya tidak cantik, tetapi
kepribadiannya menarik", atau, "Dia memang cantik, tetapi saya tidak
suka kepribadiannya." Dan kalau orang diminta untuk menggambarkan
kepribadian individu tertentu, dia mungkin akan mengemukakan sejumlah dimensi
atau sifat (trait) yang dapat memberikan gambaran tentang individu tersebut,
misalnya pintar atau bodoh, baik hati atau jahat, mendominasi atau penurut,
demokratis atau otoriter, resah atau tenang, bahagia atau tak bahagia, ambisius
atau malas, berbelit‑belit atau terus terang, kreatif atau biasa‑biasa saja,
sosial atau tidak sosial, kasar atau halus, impulsif atau berhati‑hati, menarik
atau membosankan, ceria atau pendiam, dan lain sebagainya.
Byrne dan Kelly (1981:31)
mendefinisikan kepribadian sebagai "sum total of all of the relatively
enduring dimensions of individual differences" [gabungan semua
dimensi-dimensi yang relatif bertahan lama pada diri seorang individu, yang
membedakannya dengan individu-individu lain]. Definisi tersebut menyiratkan
bahwa kepribadian itu merupakan gambaran menyeluruh tentang keadaan individu
berdasarkan dimensi-dimensinya, dan bahwa individu itu unik, sehingga tidak ada
dua orang individu yang memiliki kepribadian yang persis sama
Ferguson (1970 dalam Zimbardo,
1977:409) mendefinisikan kepribadian sebagai berikut: "... personality is
the sum total of the ways in which an individual characteristically reacts to
and interacts with others and with objects [Kepribadian adalah gabungan semua
cara khas seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu-individu
lain dan dengan obyek-obyek]. Definisi tersebut menyiratkan bahwa kepribadian
seseorang itu dapat dilihat dari caranya bereaksi dan berinteraksi dengan
lingkungannya, dan setiap orang bereaksi dan berinteraksi dengan caranya
masing-masing yang khas. Hal ini menjelaskan mengapa terhadap suatu peristiwa perilaku
tertentu ada orang yang tertawa, ada yang marah, ada yang mengangkat bahu, ada
yang mengerutkan alisnya, dll.
Bila kita menggabungkan kedua definisi
di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kepribadian adalah gabungan
dimensi-dimensi yang relatif bertahan lama pada diri seorang individu, yang
ditunjukkan oleh caranya yang khas dalam bereaksi dan berinteraksi dengan
individu-individu lain dan dengan obyek-obyek, yang menunjukkan perbedaannya
dengan individu-individu lain.
Menurut Zimbardo (1977:409), setiap orang -bahkan juga seorang anak dapat mengukur
Menurut Zimbardo (1977:409), setiap orang -bahkan juga seorang anak dapat mengukur
Kepribadian orang lain maupun kepribadian
dirinya sendiri dengan caranya masing-masing. Kemampuan ini sangat vital untuk
memungkinkan orang membedakan antara teman dan musuh, untuk menilai keadaan temperamental
saudara dan orang tua, untuk menakar kekuatan atau kelemahan saingan, untuk
menentukan kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dsb. Penilaian tersebut
didasarkan atas asesmen kepribadian yang sederhana, yang oleh Zimbardo disebut
dengan istilah "naive personality theories". Dalam mengkonstruksi
teori ini, kita menggunakan banyak sumber informasi yang sama dengan yang
dipergunakan oleh psikolog dalam mengkonstruksi teori kepribadian yang canggih.
Sumber tersebut mencakup informasi tentang riwayat hidup pribadi, pola perilaku
yang ada, kebiasaan, minat, sikap, dan cita-cita atau aspirasinya.
Bagaimanakah kepribadian itu
berkembang? Terdapat bermacam-macam teori yang mencoba menjelaskan bagaimana
kepribadian itu berkembang. Perbedaan antara satu teori dengan teori lainnya
terletak pada penekanannya. Teori kepribadian yang dikembangkan atas dasar
teori analitik dari Jung, misalnya, lebih menekankan pada peranan peristiwa
internal sebagai faktor penentu kepribadian, sedangkan teori kepribadian behavioristik
yang didasarkan atas pendekatan behavioristik (yang juga disebut pendekatan
belajar) dari Skinner lebih menekankan pada peranan peristiwa eksternal.
Perbedaan lainnya adalah dalam hal karakterisasi manusia, apakah
emosional/irrasional/tak sadar (seperti yang dikembangkan oleh Freud) atau
intelektual/rasional/sadar (seperti yang dikembangkan oleh Rotter). Pada tahun
1954, Julian Rotter memperkenalkan satu varian dari pendekatan teori belajar,
yaitu teori social learning, yang kemudian dikembangkan juga oleh Mischel dan
Bandura.
Makalah ini akan membahas secara khusus teori kepribadian social learning yang dikembangkan oleh Bandura, dan akan mencoba mempergunakan sudut pandang teori tersebut untuk memahami bagaimana individu tunanetra mengembangkan sifat-sifat kepribadiannya. Yang dimaksud dengan tunanetra menurut batasan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) adalah mereka yang berindera penglihatan lemah pada kedua matanya sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kemampuan membaca tulisan atau huruf cetak ukuran normal (ukuran huruf ketik pika) pada keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata, sampai dengan mereka yang buta total (Anggaran Rumah Tangga Pertuni tahun 1993, Pasal 1:1).
Makalah ini akan membahas secara khusus teori kepribadian social learning yang dikembangkan oleh Bandura, dan akan mencoba mempergunakan sudut pandang teori tersebut untuk memahami bagaimana individu tunanetra mengembangkan sifat-sifat kepribadiannya. Yang dimaksud dengan tunanetra menurut batasan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) adalah mereka yang berindera penglihatan lemah pada kedua matanya sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kemampuan membaca tulisan atau huruf cetak ukuran normal (ukuran huruf ketik pika) pada keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata, sampai dengan mereka yang buta total (Anggaran Rumah Tangga Pertuni tahun 1993, Pasal 1:1).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
Social Learning dari Bandura
Bandura mengemukakan (1977), dalam
Byrne & Kelly, 1981:100) bahwa teori-teori yang menjelaskan bahwa perilaku
manusia hanya sebagai produk imbalan dan hukuman eksternal itu memberikan
gambaran yang tidak utuh tentang orang karena manusia memiliki kapasitas
self-reactif yang memungkinkan mereka melakukan kontrol tertentu atas
perasaannya sendiri, pikirannya, dan tindakannya. Sementara teori social
learning menolak konsepsi bahwa homo sapien merupakan organisme yang dikontrol
oleh faktor-faktor eksternal, pandangan sebaliknya - yaitu bahwa perilaku
manusia secara ketat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan internal - juga tidak
diterimanya. Teori ini berpendapat bahwa manusia berada di antara kedua ekstrim
tersebut: dia menekankan adanya interaksi antara kekuatan-kekuatan internal dan
eksternal (lingkungan).
Teori social learning ini mengemukakan bahwa orang
dapat belajar sesuatu secara tidak langsung melalui pengamatan terhadap orang
lain, di samping belajar melalui pengalaman langsung. Lebih jauh, orang dapat
menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa eksternal
secara kognitif, sehingga memungkinkan mereka meramalkan kemungkinan
konsekuensi tindakannya tanpa harus benar-benar mengalaminya.
Di samping itu, individu mempunyai kemampuan untuk
mengatur dirinya sendiri, dan dengan kemampuan tersebut dia mengevaluasi
perilakunya sendiri (berdasarkan standar pribadinya) dan menciptakan penguatan
sendiri (misalnya dengan merestui perbuatannya sendiri [self‑approval] atau menyesali
perbuatannya sendiri [self‑reproach]). Kapasitas mengatur diri sendiri ini
memungkinkan individu mengontrol tindakannya sendiri, bukannya dikontrol oleh
kekuatan-kekuatan eksternal.
Salah satu kontribusi utama Albert Bandura pada
pengembangan teori social learning ini adalah hasil penelitiannya tentang
observational learning [belajar melalui pengamatan] (Zimbardo, 1977:429).
Menurut hasil penelitian tersebut, banyak perilaku yang kita tampilkan itu
dipelajari atau dimodifikasi dengan memperhatikan dan meniru model melakukan
tindakan-tindakan tersebut. Model tersebut dapat mencakup orang tua, guru,
teman, bintang televisi, tokoh kartun, dll. Pengaruh modeling itu ditentukan
oleh empat proses yang saling terkait:
1. Proses Perhatian (Attentional Processes). Orang
akan belajar dari seorang model hanya jika mereka memperhatikan dan mengenali
aspek-aspek terpenting dari perilaku model itu. Model yang menarik atau
dipersepsi sebagai mirip dengan observer akan lebih besar kemungkinannya untuk
berpengaruh, dan demikian pula halnya dengan model yang sering muncul dengan
menampilkan perilaku fungsional yang penting. Model-model tertentu (seperti
yang ditayangkan di televisi) begitu efektif dalam menarik perhatian sehingga
penonton akan meniru aktivitas model tersebut meskipun individu tidak memiliki
insentif khusus untuk berbuat demikian.
2. Proses Pengingatan (Retention Processes).
Pengaruh seorang model tergantung pada kemampuan individu untuk mengingat
tindakan model itu sesudah dia hilang dari pandangan. Pengkodean simbolik
(symbolic coding) dan pengulangan dalam hati (mental rehearsal) untuk perilaku
model merupakan dua proses yang membantu meningkatkan daya ingat.
3. Proses Reproduksi Motorik (Motoric Reproduction
Processes). Bila orang belajar perilaku baru dengan mengamati seorang model,
mereka tidak akan dapat menunjukkan bukti hasil belajarnya itu tanpa
menampilkan aktivitas yang ditirunya itu. Jika mereka memiliki kekurangan dalam
keterampilan tertentu, maka mereka tidak akan dapat melakukan apa yang telah
mereka amati itu.
4. Proses Penguatan dan Motivasi (Reinforcement and
Motivational Processes). Apakah perilaku yang telah dipelajari itu akan
ditampilkan atau tidak, tergantung pada apakah perilaku tersebut akan
mendapatkan imbalan (reward) atau hukuman (punishment). Jika terdapat insentif
yang positif, maka perilaku yang ditiru itu akan memperoleh lebih banyak
perhatian, dipelajari dengan lebih baik, dan ditampilkan lebih sering.
Di samping
itu, Bandura mendapati bahwa modeling dapat menimbulkan dampak yang lebih
banyak daripada sekedar membuat orang belajar perilaku spesifik. Misalnya, dia
menunjukkan bahwa "rule modeling" juga terjadi, di mana anak-anak
belajar mengontrol perilakunya dengan aturan-aturan dasar yang sama dengan yang
diikuti oleh model, meskipun mereka menghadapi situasi yang sangat berbeda dari
situasi di mana mereka telah mengamati model itu. Modeling juga dapat
mengakibatkan lunturnya respon yang telah dipelajari sebelumnya. Misalnya, jika
seseorang yang berpakaian perlente (model atraktif) menginjak rumput di tempat
yang terdapat tanda "dilarang menginjak rumput", maka orang lain
mungkin akan meniru tindakannya itu, meskipun respon yang telah mereka pelajari
sebelumnya adalah mematuhi tanda larangan tersebut
1.1 Perkembangan
Bahasa
Pada
umumnya, para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa. Mereka mengacu
pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda
dari siswa-siswa yang awas dalam tes intelegensi verbal. Mereka juga
mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan
awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa
(McGinnis, 1981; Matsuda, 1984 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:308). Karena
persepsi auditer lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar
bahasa, maka tidaklah mengherankan bahwa berbagai studi telah menemukan
tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Anak tunanetra masih dapat
mendengar bahasa dan banyak di antara mereka bahkan lebih termotivasi daripada
anak awas untuk menggunakannya karena bahasa merupakan saluran utama
komunikasinya dengan orang lain.
Akan
tetapi, terdapat beberapa perbedaan kecil dalam perkembangan bahasa anak
tunanetra dibandingkan dengan anak awas (Andersen, Dunlea dan Kekelis, 1984;
Warren, 1984 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:308; Lewis, 1987 dan
Illingworth, 1972 dalam Mason & McCall, 1999:25). Perkembangan dini bahasa
anak tunanetra cenderung agak terhambat oleh kurangnya pengalaman visual
mereka. Misalnya, bahasa anak tunanetra cenderung lebih berpusat pada diri
sendiri (self-centered), sedangkan penggunaan bahasa anak awas lebih banyak
mengacu pada aktivitas yang melibatkan orang lain dan obyek-obyek di dalam
lingkungannya.
Lewis (1987 dalam Mason & McCall, 1999:25) mengemukakan bahwa ketunanetraan sedikit sekali dampaknya terhadap perkembangan pra-bahasa, dan Illingworth (1972 dalam Mason & McCall, 1999:25) berpendapat bahwa anak tunanetra yang normal sebagaimana halnya anak awas, mulai berucap pada usia delapan minggu, menjerit kegirangan dan "berbicara" bila diajak berbicara pada usia 12 minggu, mengucapkan suku-suku kata "ba /ka /da" pada usia 28 minggu, mungkin mengucapkan satu kata yang bermakna dan menirukan bunyi pada usia 48 minggu, dan mungkin memiliki dua atau tiga kata yang bermakna dalam kosa katanya menjelang usia satu tahun. Sesudah tahap ini, perkembangan bahasa anak dengan ketunanetraan yang parah cenderung lebih lambat daripada anak awas. Misalnya, anak yang normal mungkin sering mengulang-ulang kata-kata pertamanya tanpa sepenuhnya memahami maknanya (echolalia); begitu juga dengan anak tunanetra tetapi hal tersebut berlangsung untuk masa yang lebih lama.
Elstner (1983 dalam Mason & McCall, 1999:26) berpendapat bahwa penyebab keterlambatan pada anak tunanetra tersebut berasal dari ketidakmampuannya untuk mengamati hakikat peristiwa visual dan auditer yang terjadi berbarengan. Akibatnya, anak ini kehilangan stimuli yang berharga untuk berbicara, dan kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi.
Bayi tunanetra mulai belajar pada usia dini untuk membedakan suara-suara, tetapi dia tidak tahu dari mana asalnya suara-suara itu. Dalam dialog pada masa awal perkembangan bahasa, kedua orang pelaku percakapan memerlukan satu obyek yang sama untuk dipercakapkan. Obyek acuan dan kedua pelaku percakapan ini membentuk segi tiga acuan [reference triangle] (Trevarthen 1974 dalam Mason & McCall, 1999:26). Lazimnya, satu pelaku percakapan akan mengikuti arah tatapan mata yang lainnya dan menjadikan obyek yang dilihatnya sebagai acuan percakapan. Misalnya, dengan mengacu pada seekor burung yang kebetulan terbang di tempat peristiwa percakapan, satu pelaku percakapan akan berkata, "Oh, burung itu bagus sekali, ya?' Pelaku percakapan lainnya mengikuti arah tatapannya dan melanjutkan percakapan itu, "Lihat sayapnya yang indah itu'. Segi tiga percakapan tersebut lebih sulit terbentuk jika salah seorang pelakunya tidak dapat melihat dan hanya bergantung pada stimulus bunyi.
Lewis (1987 dalam Mason & McCall, 1999:25) mengemukakan bahwa ketunanetraan sedikit sekali dampaknya terhadap perkembangan pra-bahasa, dan Illingworth (1972 dalam Mason & McCall, 1999:25) berpendapat bahwa anak tunanetra yang normal sebagaimana halnya anak awas, mulai berucap pada usia delapan minggu, menjerit kegirangan dan "berbicara" bila diajak berbicara pada usia 12 minggu, mengucapkan suku-suku kata "ba /ka /da" pada usia 28 minggu, mungkin mengucapkan satu kata yang bermakna dan menirukan bunyi pada usia 48 minggu, dan mungkin memiliki dua atau tiga kata yang bermakna dalam kosa katanya menjelang usia satu tahun. Sesudah tahap ini, perkembangan bahasa anak dengan ketunanetraan yang parah cenderung lebih lambat daripada anak awas. Misalnya, anak yang normal mungkin sering mengulang-ulang kata-kata pertamanya tanpa sepenuhnya memahami maknanya (echolalia); begitu juga dengan anak tunanetra tetapi hal tersebut berlangsung untuk masa yang lebih lama.
Elstner (1983 dalam Mason & McCall, 1999:26) berpendapat bahwa penyebab keterlambatan pada anak tunanetra tersebut berasal dari ketidakmampuannya untuk mengamati hakikat peristiwa visual dan auditer yang terjadi berbarengan. Akibatnya, anak ini kehilangan stimuli yang berharga untuk berbicara, dan kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi.
Bayi tunanetra mulai belajar pada usia dini untuk membedakan suara-suara, tetapi dia tidak tahu dari mana asalnya suara-suara itu. Dalam dialog pada masa awal perkembangan bahasa, kedua orang pelaku percakapan memerlukan satu obyek yang sama untuk dipercakapkan. Obyek acuan dan kedua pelaku percakapan ini membentuk segi tiga acuan [reference triangle] (Trevarthen 1974 dalam Mason & McCall, 1999:26). Lazimnya, satu pelaku percakapan akan mengikuti arah tatapan mata yang lainnya dan menjadikan obyek yang dilihatnya sebagai acuan percakapan. Misalnya, dengan mengacu pada seekor burung yang kebetulan terbang di tempat peristiwa percakapan, satu pelaku percakapan akan berkata, "Oh, burung itu bagus sekali, ya?' Pelaku percakapan lainnya mengikuti arah tatapannya dan melanjutkan percakapan itu, "Lihat sayapnya yang indah itu'. Segi tiga percakapan tersebut lebih sulit terbentuk jika salah seorang pelakunya tidak dapat melihat dan hanya bergantung pada stimulus bunyi.
Akan tetapi, sesungguhnya apa yang diucapkan oleh lawan bicara pun merupakan stimulus yang sangat berharga yang dapat dipergunakan sebagai bahan acuan percakapan. Ketika pelaku percakapan yang awas berkomentar tentang burung yang bagus itu, misalnya, pelaku percakapan tunanetra akan terangsang untuk berbicara tentang burung juga karena dia akan mempunyai persepsi bahwa pelaku percakapan yang awas itu melihat seekor burung di tempat adegan percakapan itu; sekurang-kurangnya dia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan klarifikasi tentang persepsinya itu.
Meskipun perbedaan-perbedaan tersebut relatif kecil dan tidak menunjukkan bahwa individu tunanetra akan mengalami defisiensi linguistik, namun ada baiknya untuk memberi anak tunanetra pendedahan (exposure) terhadap bahasa sebanyak mungkin pada usia sedini mungkin (Warren, 1984 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:308).
2.2 Perkembangan Kognitif
Lowenfeld
(1948 dalam Mason & McCall, 1999:27) menyatakan bahwa ketunanetraan
mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif:
1) dalam sebaran dan jenis pengalaman anak;
1) dalam sebaran dan jenis pengalaman anak;
2)
dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya;
3)
dalam interaksinya dengan lingkungannya.
Jan et al. (1977 dalam Mason & McCall, 1999:27)
berpendapat bahwa masalah kognitif tersebut mungkin disebabkan oleh kurang
kayanya informasi, didasarkan pada fakta bahwa indera-indera lain tidak dapat
memproses informasi seefisien indera penglihatan. Misalnya, bila anak-anak awas
menyusun jigsaw puzzle (teka-teki potongan-potongan gambar), mereka dapat
melihat masing-masing potongan gambar itu dan dengan cepat dapat menentukan ke
mana arah membujurnya dan menaksir luas bidang yang tepat untuk tempat potongan
gambar tersebut. Dengan berkoordinasi dengan mata, otak dapat memproses warna
dan bentuk masing-masing potongan gambar itu secara hampir berbarengan dalam
kaitannya dengan potongan-potongan lain untuk menentukan lokasinya. Tidak ada
alat indera lain yang mampu memberikan begitu banyak informasi dengan demikian
cepat. Akan tetapi, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa
keterbatasan-keterbatasan akibat hilangnya penglihatan ini juga membatasi
potensi (Kingsley, dalam Mason & McCall, 1999:27).
Ada dua jenis
instrumen pengukur inteligensi individu tunanetra, yaitu dengan menggunakan
item-item verbal dari tes inteligensi standar, dan menggunakan performance test
yang dirancang khusus untuk tunanetra. Samuel P. Hayes (Hayes, 1942, 1950 dalam
Hallahan & Kauffman, 1991:308), misalnya, mengambil item-item verbal dari
tes inteligensi Stanford-Binet untuk mengukur inteligensi individu tunanetra.
Rasionalnya adalah bahwa item-item tersebut seyogyanya merefleksikan secara
tepat inteligensi orang tunanetra karena item-item tersebut tidak begitu
bergantung pada penglihatan seperti item-item pada performance test.
The Blind Learning Aptitude Test (BLAT) adalah performance test yang dirancang khusus untuk tunanetra oleh Newland (Hallahan & Kauffman, 1991:309). Salah satu romannya adalah bahwa tes tersebut mengukur indera taktual (perabaan) - satu kemampuan yang dibutuhkan untuk membaca Braille.
The Blind Learning Aptitude Test (BLAT) adalah performance test yang dirancang khusus untuk tunanetra oleh Newland (Hallahan & Kauffman, 1991:309). Salah satu romannya adalah bahwa tes tersebut mengukur indera taktual (perabaan) - satu kemampuan yang dibutuhkan untuk membaca Braille.
Kolk mengkaji sejumlah hasil studi mengenai
inteligensi anak-anak tunanetra dan menyimpulkan bahwa secara umum rata-rata
skor IQ untuk anak tunanetra dan anak awas tidak berbeda secara signifikan
(Mason & McCall, 1999:27). Akan tetapi, Tillman berargumentasi bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan menggunakan skala verbal dari WISC
(the Wechsler Intelligence Scale for Children), Tillman melaporkan skor
rata-rata IQ 92 untuk 110 anak tunanetra usia 7‑13, berbanding 96,5 untuk
kelompok anak awas (Tillman, 1967 dalam Mason & McCall, 1999:27). Tillman
menganalisis hasil dari masing-masing item tes itu dan menemukan bahwa
anak-anak awas lebih baik daripada anak-anak tunanetra dalam pemahaman dan
tugas yang menuntut anak-anak untuk mencari kesamaan, tetapi tidak ada
perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas dalam skala informasi, aritmetika
dan kosa kata. Penjelasan yang dikemukakan oleh Tillman mengenai perbedaan
tersebut adalah bahwa anak-anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan
berbagai fakta yang telah mereka pelajari, sehingga masing-masing item
informasi tersebut mungkin disimpan dalam kerangka acuan (frame of reference)
yang berbeda-beda. Anak-anak yang tunanetra tidak mengalami kesulitan dalam
item-item yang memerlukan informasi, seperti item-item dalam skala aretmetika
dan kosa kata, tetapi mereka berkesulitan dalam item-item tentang pemahaman
atau item-item untuk mengetes mereka dalam menilai kesamaan, yang menuntut anak
mempertalikan bermacam-macam butir informasi. Analisis tersebut menyiratkan
seolah-olah bermacam-macam pengalaman pendidikan anak tunanetra itu disimpan
dalam kantong-kantong yang terpisah-pisah. Jika hasil analisis tersebut benar,
maka mungkin dapat disimpulkan bahwa, dalam hal persepsi, penglihatan memberi
kesempatan kepada anak untuk menghubung-hubungkan antara berbagai macam
pengalaman, mata rantai yang membantu anak memanfaatkan pengalamannya secara
efektif.
Sejumlah psikolog lain melaporkan bahwa anak tunanetra mungkin lebih baik daripada anak awas dalam "digit span tasks" (Kingsley dalam Mason & McCall, 1999:27). Sekurang-kurangnya, ketunanetraan tidak secara otomatis membuat inteligensi orang menjadi lebih rendah, sebagaimana dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman 1991:309), "... there is no reason to believe that blindness results in lower intelligence."
Sejumlah psikolog lain melaporkan bahwa anak tunanetra mungkin lebih baik daripada anak awas dalam "digit span tasks" (Kingsley dalam Mason & McCall, 1999:27). Sekurang-kurangnya, ketunanetraan tidak secara otomatis membuat inteligensi orang menjadi lebih rendah, sebagaimana dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman 1991:309), "... there is no reason to believe that blindness results in lower intelligence."
3.3. Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling penting untuk
berhasilnya penyesuaian diri individu tunanetra adalah kemampuan mobilitas -
yaitu keterampilan untuk berpindah-pindah tempat di dalam lingkungannya.
Keterampilan mobilitas ini sangat tergantung pada kemampuan orientasi, yaitu
kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya
di dalam lingkungan. Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah
merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memproses
informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequencial mode)
yang menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan,
atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran pemetaan tentang
hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al.
dalam Hallahan & Kauffman, 1991:310). Metode peta kognitif lebih
direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih baik
dalam menavigasi lingkungan. Bayangkan tiga titik yang berurutan - A, B, dan C.
Memproses informasi tentang orientasi lingkungan dengan metode urutan membatasi
gerakan individu sedemikian rupa sehingga dia hanya dapat bergerak dari A ke C
hanya melalui B. Tetapi individu yang memiliki peta kognitif dapat pergi dari
titik A langsung ke titik C tanpa harus melalui B.
Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apa pun - metode urutan ataupun metode peta kognitif - individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas dibandingkan dengan kawan-kawannya yang awas. Mereka kurang mampu atau tidak mampu sama sekali menggunakan metafora visual. Di samping itu, para pelancong tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas (Hollyfield & Foulke, 1983 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:310).
Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apa pun - metode urutan ataupun metode peta kognitif - individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas dibandingkan dengan kawan-kawannya yang awas. Mereka kurang mampu atau tidak mampu sama sekali menggunakan metafora visual. Di samping itu, para pelancong tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas (Hollyfield & Foulke, 1983 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:310).
Individu-individu tunanetra bervariasi dalam
keterampilan orientasi dan mobilitasnya, tetapi tidak mudah untuk menentukan
apa yang membuat satu individu tunanetra lebih baik keterampilannya daripada
individu lainnya. Misalnya, akal sehat mungkin mengatakan bahwa mobilitas
mereka yang masih memiliki sisa penglihatan akan lebih baik daripada yang buta
total, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Hallahan dan Kauffman
(1991)311) mengemukakan bahwa motivasi untuk mau bergerak merupakan faktor yang
terpenting.
Usia
terjadinya ketunanetraan tidak dapat memprediksi secara sempurna keterampilan
mobilitas seorang individu (McLinden, 1988 dalam Hallahan & Kauffman,
1991:311). Pada umumnya mereka yang kehilangan penglihatan pada usia dini tidak
sebaik mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian dalam keterampilan
mobilitasnya, tetapi ditemukan juga individu yang ketunanetraannya terjadi
kemudian justru mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan
lingkungannya. Namun, dengan motivasi yang tepat, individu-individu ini dapat
memanfaatkan kerangka acuan visual yang pernah dimilikinya (Warren &
Bollinger, 1973 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:311). Mereka dapat
mengaitkan cara-cara non-visualnya dengan persepsi visual yang diperolehnya
dari pengalaman sebelumnya sebagai orang awas. Di samping itu, mereka lebih
beruntung daripada yang menjadi tunanetra sejak lahir karena pernah
mengembangkan dasar-dasar mobilitas, seperti keterampilan berjalan, yang
dipelajarinya pada masa bayi.
"Obstacle Sense".
Individu tunanetra memiliki kemampuan untuk mendeteksi adanya rintangan fisik
di dalam lingkungan yang akan dilaluinya dengan perasaannya. Kemampuan tersebut
dikenal dengan istilah "obstacle sense". Sejumlah eksperimen
menunjukkan bahwa orang tunanetra dapat menjadi sangat terampil dalam menangkap
isyarat-isyarat yang terdapat di dalam lingkungannya (Warren & Kocon, 1974
dalam Hallahan & Kauffman, 1991:311). Dengan latihan, mereka dapat
mendeteksi perubahan kecil dalam nada dari gema berfrekuensi tinggi pada saat
mereka berjalan ke arah suatu obyek. Kemampuan ini diperoleh karena mereka
memanfaatkan efek Doppler, yaitu hukum fisika yang mengatakan bahwa nada suatu
bunyi akan semakin tinggi bila orang bergerak semakin mendekat ke arah sumber bunyi
tersebut.
Tidak ada hal yang istimewa dengan ketunanetraan sehingga secara otomatis indera-inderanya berkembang lebih baik. Untuk dapat bergerak dengan efektif, efisien dan aman di dalam lingkungannya, individu tunanetra memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.
B. Peran Social Learning dalam Perkembangan Kepribadian anak yang mengalami ganguan
Tidak ada hal yang istimewa dengan ketunanetraan sehingga secara otomatis indera-inderanya berkembang lebih baik. Untuk dapat bergerak dengan efektif, efisien dan aman di dalam lingkungannya, individu tunanetra memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.
B. Peran Social Learning dalam Perkembangan Kepribadian anak yang mengalami ganguan
Pada Bab I telah disimpulkan bahwa
kepribadian adalah gabungan dimensi-dimensi yang relatif bertahan lama pada
diri seorang individu, yang ditunjukkan oleh caranya yang khas dalam bereaksi
dan berinteraksi dengan individu-individu lain dan dengan obyek-obyek, yang
menunjukkan perbedaannya dengan individu-individu lain. Ini menyiratkan bahwa
kepribadian seorang individu itu dapat kita lihat dari caranya bereaksi dan
berinteraksi terhadap atau dengan orang atau obyek di dalam lingkungannya.
Dengan kata lain, kepribadian itu ditampilkan melalui perilaku, baik perilaku
fisik, perilaku verbal, maupun gabungan keduanya. Dari perspektif komunikasi,
perilaku fisik itu disebut bahasa tubuh, sedangkan perilaku verbal disebut
bahasa lisan.
Teori social learning meyakini
pentingnya situasi eksternal dan peranan reinforcement dalam menentukan
perilaku, tetapi di samping itu teori ini juga menekankan pentingnya proses
kognitif sebagai faktor penentu perilaku. Jadi, perilaku itu merupakan gabungan
antara hasil belajar dan proses berpikir.
Albert Bandura mengemukakan bahwa Banyak
perilaku yang ditampilkan oleh individu itu dipelajari atau dimodifikasi dengan
memperhatikan dan meniru model melakukan tindakan-tindakan tersebut. Orang akan
belajar dari seorang model hanya jika mereka mengamati dan mengenali
aspek-aspek terpenting dari perilaku model itu. Secara teknis, proses
pengamatan itu dilakukan melalui indera penglihatan (untuk perilaku fisik /
bahasa tubuh) dan melalui pendengaran (untuk perilaku verbal / bahasa lisan).
Pada Bab III dikemukakan bahwa,
menurut Farkas et al., bagi tunanetra, belajar keterampilan sosial (yang di
dalamnya mencakup perilaku fisik), dapat merupakan tugas yang sangat menantang,
karena keterampilan tersebut secara tradisi dipelajari melalui modeling dan
umpan balik menggunakan penglihatan. Sebagaimana kita ketahui, individu
tunanetra harus bergantung pada indera-indera non-visual untuk dapat berfungsi
secara "normal", dan harus menggantikan fungsi penglihatan dengan
indera-indera non-visual untuk mengamati obyek-obyek visual. Misalnya, secara
normal anda akan melihat melalui cermin untuk meyakinkan apakah rambut anda
sudah rapi, sedangkan individu tunanetra harus menggunakan indera perabaannya:
dia akan meraba rambutnya dengan ujung-ujung jarinya. Anda akan terutama
melihat ekspresi wajah orang untuk menentukan apakah dia marah, senang, atau
sedih, sedangkan tunanetra harus membuat judgment secara auditer dengan
mendengarkan nada suara orang itu. Individu tunanetra harus menggunakan indera
penciumannya untuk membedakan antara jahe, kunyit, dan lengkuas. Untuk
memastikan apakah kompor sudah menyala atau belum, dia menggunakan thermal
sense. Untuk mendeteksi kemiringan jalan atau sisa jarak yang harus ditempuh
agar mengetahui kapan belok atau berhenti, dia dapat menggunakan kinesthetic
sense atau muscular memory. Untuk obyek-obyek yang tidak dapat dideteksi oleh
indera-indera yang ada, teknologi akses tertentu dapat membantu dengan
memfungsikan indera perabaan atau pendengaran. Misalnya, terdapat teknologi
yang membantu tunanetra membaca monitor komputer melalui pendengaran atau
perabaan.
Dalam hal perilaku sosial yang
berbentuk bahasa tubuh, meskipun sesungguhnya dapat diamati melalui indera
perabaan, namun norma sosial sangat membatasi orang tunanetra untuk berbuat
demikian. Misalnya, akan dipandang sebagai sesuatu yang amat ganjil apabila
seorang individu tunanetra meraba fisik temannya berjalan meskipun sekedar
untuk mengetahui bagaimana ekspresi bahasa tubuhnya pada saat dia berlalu di
depan orang yang jauh lebih tua untuk menampilkan perilaku hormatnya. Oleh
karena itu, dalam belajar perilaku ini individu tunanetra harus sangat
bergantung pada apa yang dapat ditangkapnya melalui indera pendengarannya -
sedangkan secara normal perilaku fisik bukan merupakan subyek pembicaraan
deskriptif yang sering kita dengar. Akibatnya individu tunanetra sangat
dibatasi kesempatannya untuk belajar bahasa tubuh, dan hal ini menjelaskan
mengapa mereka sering menggunakan bahasa tubuh yang berbeda atau tidak
menunjukkannya sama sekali untuk banyak peristiwa perilaku sosial.
Kondisi di atas menyiratkan bahwa bagi
individu tunanetra, peran model dalam pengembangan kepribadian sebagaimana
dikemukakan dalam teori social learning dari Bandura itu tidak dapat dilakukan
secara normal - terutama di dalam lingkungan kebudayaan Indonesia (meskipun
Bandura tidak mengemukakan secara eksplisit bahwa modeling itu harus dilakukan
secara visual). Individu tunanetra perlu bantuan khusus agar mendapatkan
persepsi tentang aspek-aspek terpenting dari perilaku model yang patut
diperhatikan dan dikenalinya, dan kemudian perlu ada metode khusus untuk
memungkinkannya meniru perilaku tersebut. Deskripsi verbal dari model atau dari
orang ketiga mengenai perilaku merupakan satu cara untuk memberikan persepsi
tentang perilaku itu, dan modeling perlu dilakukan secara taktual dan dengan
kesengajaan. Artinya, perolehan perilaku fisik oleh individu tunanetra itu
harus lebih banyak dilakukan dalam setting pengajaran. Model tidak sekedar
berperan memberi contoh tetapi juga sebagai pengajar.
Pada anak awas, pencontohan itu
terjadi secara alami dalam kehidupan sosial sehari-hari; dia akan mencontoh
perilaku yang sering dilihatnya dan menarik perhatiannya. Perilaku yang komunikatif,
yaitu yang menyampaikan pesan sosial sesuai dengan yang dimaksudkannya, akan
dipandang sebagai perilaku yang memperoleh reward dan oleh karenanya mendapat
reinforcement, sedangkan perilaku yang kontraproduktif akan dipandangnya
sebagai perilaku yang memperoleh punishment dan cenderung ditinggalkan
(extinct). Sering kali reward atau punishment tersebut berbentuk respon yang
hanya dapat dipersepsi secara visual (misalnya anggukan kepala sebagai tanda
merestui atau gelengan kepala sebagai tanda tidak merestui) - sesuatu yang
sulit untuk dipersepsi oleh individu tunanetra.
B. Analisis
teori bandura pada film Miracle
Worker
Teori social learning meyakini
pentingnya situasi eksternal dan peranan reinforcement dalam menentukan
perilaku, tetapi di samping itu teori ini juga menekankan pentingnya proses
kognitif sebagai faktor penentu perilaku. Jadi, perilaku itu merupakan gabungan
antara hasil belajar dan proses berpikir. Pada
film ini di ceritakan bahwa Helen ahir di
Tuscumbia,
Alabama pada 1880. Pada usia 19 bulan, ia diserang penyakit misterius yang
menyebabkannya buta dan tuli. Ia jadi liar dan tidak dapat diajar pada usia 7
tahun, sehingga orang tuanya bertemu Johanna (Anne) Mansfeld Sullivan Macy
untuk menjadi guru pribadi dan mentor. Annie memegang tangan Helen di bawah air
dan dengan bahasa isyarat, ia mengucapkan "A-I-R" pada tangan yang
lain. Saat Helen memegang tanah, Annie mengucapkan "T-A-N-A-H" dan
ini dilakukan sebanyak 30 kata per hari. Helen diajar untuk membaca lewat huruf
braille sampai mengerti apa maksudnya. Helen menulis, "Saya ingat hari
yang terpenting di dalam seluruh hidup saya adalah saat guru saya, Anne
Mansfield Sullivan, datang pada saya." Dengan tekun, Annie mengajar Helen
untuk berbicara lewat gerakan mulut, sehingga Helen berkata, "Hal terbaik
dan terindah yang tidak dilihat atau disentuh oleh dunia adalah hal yang
dirasakan di dalam hati." Ia belajar bahasa Perancis, Jerman, Yunani dan
Latin lewat braille. Pada usia 20 tahun, ia kuliah di Radcliffe College (cabang
Universitas Harvard), khusus wanita. Annie menemani untuk spell textbooks,
huruf demi huruf, yang diletakkan ke tangan Helen. Hanya 4 tahun, Helen lulus
dengan predikat magna cum laude.
Pada
3 Maret 1887 Anne tiba di rumah di Tuscumbia dan untuk pertama kalinya bertemu
Helen Keller. Anne segera mulai mengajar Helen mengeja dengan jari. Mengeja
kata “boneka” untuk menandai hadiah yang dia bawa untuk Helen. Kata berikutnya
yang ia ajarkan pada Helen adalah “kue”. Walaupun Helen dapat mengulangi
gerakan-gerakan jari ini, ia tidak dapat sepenuhnya memahami apa artinya. Dan
ketika Anne berjuang untuk mencoba membantunya untuk memahami, ia juga mencoba
berjuang mengontrol kelakuan buruk Helen yang terus berlanjut. Tetapi semunya
itu bias di atasi oleh Annie guru pribadi Helen yang pada akhirya Helen Keller
menjadi wanita tegar yang menjadi inspirasi bagi Dunia, dan ia di kenal sebagai
pejuang hak-hak wanita, pembela orang cacat serta pengarang produktif dan
sukses. Helen Keller bisa membuktikan bahwa keterbatasan fisik tidak bisa
mengekang manusia untuk sukses, selama ada keyakinan diri, kerja keras dan
semangat.
BAB III
KESIMPULAN
V. Kesimpulan
1.
Meskipun memeliki berbagai macam keterbatasan-keterbatasan dalam
mengekspresikan kemampuannya, anak-anak tunaganda tetap dapat diberikan proses
belajar mengajar sehingga mereka tetap tidak kehilangan haknya untuk
mendapatkan layanan pendidikan seiring dengan program “education for all”.
2.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang definisi anak-anak yang tergolong
tunaganda. Namun demikian sudah ada kesepahaman bahwa anak-anak yang tergolong
tunaganda membutuhkan latihan dalam menolong diri sendiri, gerak, perseptual,
sosial, kognitif dan ketrampilan-ketrampilan berkomunikasi.
3.
Tes inteligensi tradisional kurang manfaatnya untuk mengukur anak tunaganda.
Untuk itu, para guru perlu mengamati kemampuan-kemampuan yang unik serta
keterbatasan-keterbatasan yang diperlihatkan oleh anak-anak tunaganda. Walaupun
setiap anak memperlihatkan karakteristik individual yang berkaitan dengan
fisik, intelektual dan social, anak-anak tunaganda seringkali memperlihatkan
perilaku seperti: sedikit atau tidak dapat berkomunikasi, terbelakang dalam
perkembangan fisik dan motoriknya, sering berprilaku yang tidak tepat, kurang
dalam ketrampilan menolong diri sendiri dan jarang berprilaku atau berinteraksi
yang sifatnya konstrutif.
4.
Anak-anak tunaganda hampir selalu mengalami ketidakmampuan majemuk yang
mencangkup masalah-masalah fisik. Mereka biasanya berprilaku beda secara
mencolok dengan perilaku anak-anak normal atau anak-anak tuna lainnya.
5.
Walaupun terdapat banyak kemungkinan kombinasi kecacatan yang berbeda-beda,
kondisi-kondisi kecacatan majemuk sudah dikenal oleh para pendidik, seperti
kombinasi antara tunagrahita dengan gangguan pendengaran, antara tunagrahita
dengan masalah perilaku yang berat, autisme, antara gangguan perilaku dengan
gangguan pendengaran dan kombinasi antara ketulian dan kebutaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mason, H. & Mccall S. (Eds.). (1999). Visual Impairment - Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers, Ltd.
Nelson‑jones, Richard. (1995). Counselling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen and Unwin Pty Ltd.
Mason, H. & Mccall S. (Eds.). (1999). Visual Impairment - Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers, Ltd.
Nelson‑jones, Richard. (1995). Counselling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen and Unwin Pty Ltd.
Comments
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Anda